BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konseling adalah proses pemberian bantuan non material
yang dilakukan oleh seorang konselor kepada klien yang dilakukan dengan
wawancara konseling yang dilakukan secara sistematis, dinamis,
berkesinambungan, dan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, yang
bermuara pada pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
Konseling
merupakan sebuah kebutuhan yang diperlukan oleh semua masyarakat yang mencakup
semua kalangan yang menangani hal-hal yang menyangkut kehidupan manusia. Konseling
dapat diaplikasikan kedalam lapangan kerja, yakni konseling pranikah, konseling
perkawinan, konseling keluarga dan konseling pendidikan. untuk lebih
jelasnya, dibawah ini akan dipaparkan mengenai beberapa konseling dalam aplikasi
lapangan kerja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa sajakah aplikasi lapangan kerja konseling ?
2.
Bagaimana cara menangani masalah sesuai dengan aplikasi
lapangan kerja konseling itu sendiri ?
3.
Apa peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja konseling
itu ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa saja aplikasi lapangan kerja konseling
2.
Mengetahui cara menangani masalah klien sesuai dengan
aplikasi lapangan kerja konseling
3.
Mengetahui peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja
konseling
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Konseling Pranikah
A.
Pengertian Konseling Pranikah
Konseling
pranikah merupakan konseling yang deselenggarakan kepada pihak – pihak yang
belum menikah, sehubungan dengan rencana pernikahannya. Menurut Brammer dan
Shostrom, tujuan konseling pranikah adalah membantu patner pranikah untuk
mencapai emahaman yang lebih baik rentang drinyaa, masing – masing pasangan dan
tuntutan – tuntutan perkawinan. Konseling pranikah dianggap penting karena
banyak orang yang merasa salah dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami
banyak kesulitan dalam penyesuaian diri dalam kehidupan berkeluarga. Banyak
orang yang terburu-buru membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak aspek
sehubungan dengan kehidupan berumah tangga.
B.
Aspek yang Perlu Diasesmen
Aspek yang perlu dipahami
dan diasesmen konselor jika melakukan konseling pranikah :
1.
Riwayat Perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan
pranikah. Dimana mulai berkenalan, seberapa lama perkenalannya berlangsung,
bagaimana mereka saling mengetahui satu dengan lainnya, misalnya tentang pembicaraan
tentang nilai, tujuan, dan harapannya terhadap hubungan pernikahan, dan alas an
mereka berkeinginan melanjutkan perkenalannya kea rah pernikahan.
2.
Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Keberhasilan membangun keluarga seringkali dihubungkan
dengan latar belakang pasangan. Keseteraaan latar belakang lebih baik
penyesuaian pernikahannya disbanding dengan yang berasal dari latar belakang
yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar belakang pendidikan, budaya
keluarga setiap partner dan status social ekonominya sepenuhnya harus
dieksplorasi, dan perbedaan agama, serta adat istiadat keluarganya.
3.
Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana pernikahannya,
termasuk bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga terhadap keluarga nantinya,
apakah mereka menyetujui terhadap rencana pernikahannya, atau memberikan
dorongan, dan bahkan memaksakan agar menikah dengan orang yang disenangi.
4.
Perencanaan Terhadap Pernikahan
Perencanaan terhadap pernikahan meliputi rumah yang
akan ditempati, system keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang
dipersiapkan menjelang pernikahan.
5.
Faktor Psikologs dan Kepribadian
Factor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen
adalah sikap mereka terhadap peran seks dan bagaimana peran yang hendak
dijalankan di keluarganya nanti, bagaimana perasaan mereka terhadap dirinya,
dan usaha apa yang akan dilakukan untuk keperluan keluarganya nanti.
6.
Sifat Prokreatif
Menyangkut sikap mereka terhadap hubungan seksual dan
sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana pengasuhan terhadap anaknya
kelak.
7.
Kesehatan dan Kondisi Fisik
Hal lain yang sangat penting adalah perlunya diketahui
tentang kesesuaian usia untuk mengukur kematangan emosialnya secara usia
kronologis, kesehatan secara fisik dan mentalnya, dan factor-faktor genetic.
C.
Prosedur Konseling Pranikah
Konseling pranikah
diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan. Yang menjadi
penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif, yaitu
mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya.
II.
Konseling Perkawinan
A.
Pengertian
Konseling perkawinan
memiliki beberapa istilah, yaitu couples
counseling, marriage counseling, dan marital
counseling. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling
yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk memecahkan masalah
dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik. Dikatakan sebagai
metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada
pasangan suami isteri yang berkonsultasi tentang diri, pasangan dan masalah –
masalah dalam hubungan perkawinan serta cara – cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya.
B.
Perbandingan Konseling Perkawinan dan Keluarga
Secara umum konseling
keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah –
masalah keluarga, sementara konseling perkawinan lebih menekankan pasa masalah
– masalah pasangan ( suami isteri ).
Sekalipun konseling keluarga dan konseling perkawinan
memiliki penekanan tersendiri, kedua macam konseling tersebut memiliki prosedur
yang sama. Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling
keluarga yang dikembangkan dari adanya konflik hubungan perkawinan dan menekankan
pada hubungan perkawinantanpa mengabaikan nilai konseling individu. Konseling
keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara jelas
tidak dapat terpecahkan tanpa adanya keterlibatkan bersama – sama anggota
keluarga yang bersangkutan.
C.
Permasalahan
Perkawinan
Beberapa masalah pasangan
yang sering kali menjadi masalah dalam suatu perkawinan, dan tentunya menjadi
perhatian konselor. Ada tiga masalah yang mungkin dihadapi dalam konseling
perkawinan.
1.
Adanya harapan dalam perkawinan yang tidak realistis. Harapan
yang berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak dapat terwujud secara
nyata selama kehidupan berkeluarga, dapat menimbulkan suatu permasalahan, yaitu
kekecewaan pada salah satu atau keduanya.
2.
Kurang pengertian satu dengan lainnya. Jika salah satu atau
bahkan keduanya tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan
perkawinan. Pemahaman tidak hanya diberikan melalui pemahaman, tetapi juga
melalui tindakan afeksi dan tindakan nyata lainnya.
3.
Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara
langgeng. Sebagian orang memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak lagi
dapat dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu membangun keluarga,
mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan adalah sangat sulit. Mereka ini
melihat mempertahankannya tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan
bagi dirinya.
Hal – hal yang juga sering menjadi masalah dalam
perkawinan adalah kurangnya kesetiaan salah satu atau kedua belah pihak,
memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua belah pihak, dan
perspisahan diantara pasangan. Problem-problem perkawinan ini dapat dipecahkan
melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan) berkeinginan untuk
menyelesaikannya.
D.
Tujuan Konseling Perkawinan
Dalam konseling perkawinan,
konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang dihadapi, dan
mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Secara lebih rinci tujuan
jangka panjang konseling perkawinan adalah sebagai berikut.
1.
Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling
empati di antara patner.
2.
Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing
– masing.
3.
Meningkatkan sikap untuk saling membuka diri.
4.
Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5.
Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konfliknya.
E.
Asumsi – Asumsi Konseling Perkawinan
1.
Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan,
bukan pada kepribadian masing – masing patner. Konselor tidak menekankan untuk
mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang dating. Dia akan
menekankan bagaimana hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan
tersebut.
2.
Masalah yang dihadapi kedua nelah pihak adalah mendesak,
sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung untuk
memecahkan masalah.
3.
Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah – masalah
normal, buka kasus yang sangat ekstrem yang bersifat patologis. Maslah normal
adalah masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja
keduannya mengalami kesulitan dalam mengatasi konflik-konfliknya.
F.
Tipe – Tipe Konseling Perkawinan
1.
Concurrent Martial
Counseling
Konselor melakukan konseling
secara terpisah pada setiap patner. Metode ini digunakan ketika salah seorang
partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan sendiri, selain juga
mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2.
Collaborative Marital
Counseling
Setiap patner secara
individual menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika
seorang partner lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinanya,
sementara konselor yang lain menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga
menjadi perhatian kliennya.
3.
Conjoint Marital Counseling
Suami isteri bersama – sama
datang ke seorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan ketika kedua
partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan
modifikasi hubungan.
4.
Couples Marital Counseling
Beberapa pasangan datang ke
seorang atau ke beberapa konselor. Cara ini dapat mengurangi kedalaman situasi
emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku
yang lebih rasional dalam kelompok.
G.
Peranan Konselor
1.
Menciptakan hubungan dengan klien.
2.
Memberikan kesempatan kepada klien untuk membuka
perasaan perasaan secara leluasa di
hadapan pasangannya.
3.
Memberikan dorongan dan menunjukan penerimaannya kepada
klien.
4.
Melakukan diagnosis terhadap kesulitan – kesulitan klien.
5.
Membantu klien untuk menguji kekuatan – kekuatannya, dan
mencari kemungkinan aternatif dalam menentukan tindakannya.
H.
Langkah – Langkah Konseling
1.
Tahap persiapan, yaitu tahap dimana klien menghubungi
konselor.
2.
Tahap keterlibatan, yaitu tahap keterlibatan bersama klien.
3.
Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang
dihadapi oleh pasangan.
4.
Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi
untuk penyelesaian masalah.
5.
Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan
hipotesis dan memformulasikan langkah – langkah pemecahan.
6.
Tahap penentuan tujuan, yaitu taha yang dicapai klien telah
mencapai perilaku yang normal, telah mencapai cara berkomunikasi, telah
menaikan self esteem dan membuat
keluarga lebih kohesif.
7.
Tahap akhir dan penutup, yaitu merupakan kegiatan mengakhiri
hubungan konseling setelah tujuannya tercapai.
I.
Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Konseling perkaawinan
tidaklah mudah, karena orang yang ditanganibermasalah, dan masalahnya
menyangkut hubungan satu dengan lainnya. Konselor harus memberikan perhatian
yang sama kepada keduanya. Konselor tidak dibenarkan membela atau
mengesampingkan salah satu diantara pasangan yang berkonsultasi. Konselor
membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan
konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampuan dalam member
perhatian, mrngatur pembicaraan, kemmapuan konfrontasi, dan keterampilan
konseling lain.
Namun demikian, konseling
perkawinan juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan konseling
individu, yaitu :
1.
Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi
karena pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
2.
Dapat dengan mudah mengetahui konflik – konflik di antara
asangan dan tranferensi yang terjadi pada pasangan.
3.
Terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahan sampai
kehidupan yang terakhir.
III.
Konseling Keluarga
A.
Pengertian Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan
konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga in secara khusus
memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan
penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Konseling keluarga memandang
keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak
mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun
penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami oleh seorang anggota
keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada
mulanya konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar
beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan
lingkungan keluarganya. Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki
permasalahan pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi
adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap
survive di dalam system keluarganya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Golden dan Sherwood,
yang menjelaskan bahwa konseling atau terapi keluarga merupakan metode yang
difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan problem perilaku
anak. Dasar diselenggarakan konseling keluarga karena keluarga memiliki
kekuatan untuk mendorong atau mengambat usaha yang baik dari konselor atau guru
yang berusaha membantu guru meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kliennya.
Menurut Crane, salah seorang konselor behavioral, konseling
keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orangtua dalam hal metode
mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua dalam hal metode
mengendalikan perilaku yang positif dan
membantu orang tua dalam perilaku yang dikehendaki. Dalam pengertian ini,
konseling keluarga tidak bermaksud untuk mengubah kepribadian, sifat, dan
karakter orang-orang yang terlibat, tetapi lebih mengusahakan perubahan dalam
system keluarga melalui pengubahan perilaku, utamanya orang tua. Dalam
konseling keluarga yang menjadi unit terapi adalah keluarga sehubungan dengan
masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga tersebut. Hal tersebut berbeda
dengan konseling individual karena yang menjadi unit terapi adalah individu
sekalipun masalah yang dihadapi dan yang dipecahkan adalah berhubungan dengan keluarganya.
B.
Masalah – masalah Keluarga
Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah
dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan
orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orangtua dan seringkali
tidak diketahui oleh orang tua. Permasalahan yang diketahui orangtua jika
fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu. Orangtua akan
menghantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang
mengahdapi masalah atau sedang mengalami gangguan yang berat. Karena itu
konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan
anak yang mengalami gangguan.
Hal kedua berhubungan dengan keadaan orangtua. Banyak
dijumpai orangtua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya,
menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang
berkesinambungan dan penuh konflik, atau member perlakuan secara salah kepada
anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai
masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yang
lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Perkembangan konseling keluarga tidak hanya menagani dua hal
tersebut, permasalahan yang ketiga karena mengalami kondisi yang kurang harmoni
di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru
dalam mengatur keluarganya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka.
Berdasarkan pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang
dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain : keluarga dengan anak
yang tidak patuh terhadapan harapan orang tua, konflik antar anggota keluarga,
perpisahan di antara anggota keluarga karena kerja di luar daerah, dan anak
yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan – permasalahan keluarga tersebut dapat
diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif
untuk mengatasi masalah – masalah tersebut jika semua anggota keluarga bersedia
untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan cara – cara baru untuk
membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah. Namun demikian, konseling
keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu
dipertibangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan yang
dimaksud diantaranya :
1.
Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses
konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dalam usaha ini, atau
karena ember kesibukan, dan sebagainya.
2.
Ada anggota keluarga yang merasa kesulitan untuk menyampaikan
perasaan dan sikapnya secara terbuka di hadapan anggota keluarga lain, padahal
konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling kepercayaan satu dengan yang
lainya.
C.
Pendekatan Konseling Keluarga
Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan
bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, ada tiga pendekatan
konseling keluarga yaitu :
1.
Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan system.
Menurutnya keluarga bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi. Keadaan ini
terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan
harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bawen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat
membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat
anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota
keluarga tidak dapat menghindari system keluarga yang emosional yaitu yang
mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan. Jika hendak menghindar dari
keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari system
keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan berdasarkan
rasioanalitasnya bukan emosionalnya.
2.
Pendekatan
Sedangkan menurut Satir masalah yang dihadapi oleh anggota
keluarga berhubungan dengan self-esteem dan
komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan
komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan
komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi
bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang
dikomunikasikan anggota keluarga lain.
3.
Pendekatan Struktural
Minuchin beranggapan bahwa masakah keluarga sering terjadi
karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak tepat.
Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara sub
system dari system keluarga itu tidak jelas. Mengubah struktur dalam keluarga
berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan
seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga yang
bermasalah perlu dirumuskan kembali struktur keluarga itu dengan memperbaiki
transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
D.
Tujaun Konseling Keluarga
Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga adalah
membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, menjadi
dirinya sebagai hal yang berbeda dari system keluarga. Tujuan demikian ini
relevan dengan pandangannya tentang masalah keluarga yang berkaitan dengan
kehilangan kebebasan anggota keluarga akibat dari peraturan dan kekuasaan
keluarga.
Satir menekankan pada tujuan mereduksi sikap defensive di
dalam dan antar anggota keluarga. Pada saat yang sama konseling diharapkan
dapat mempermudah komunkasi yang efektif dalam kontak hubungan antar nggota
keluarga. Oleh karena itu, anggota keluarag perlu membuka inner experience (pengalaman dalamnya) dengan tidak membekukan interaksi
antar anggota keluarga.
Sedangkan Minuchin mengemukakan bahwa tujuan konseling
keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga, dengan cara menyusun kembali
kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antara dan sekitar anggota keluarga.
Diharapkan keluarga dapat menantang persepsi untuk melihat realitas,
mempertimbangkan alternative sedapat mungkin dan pola transaksional. Anggota
keluarga dapat mengembangkan pola hubungan baru dana struktur yang mendapatkan self-reinforcing.
Glick dan Kessler mengemukakan tujuan umum konseling
keluarga adalah untuk (1) memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar
anggota keluarga, (2) mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi,
(3) member pelayanan sebagai model dan pendidik peran tertentu yang ditunjukan
kepada anggota lainnya.
E.
Bentuk Konseling Keluarga
Dalam akitannya dengan bentuknya, konseling keluarga
dikembangkan dalam berbagai bentuk sebagai pengembangan dari konseling
kelompok. Bentuk konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan anak
sebagai bentuk konvensioanlnya. Saat ini juga dikembangkan dalam bentuk lain,
misalnya ayah dan anak perempuan, ibu dan anak laki-laki, dan sebagainya.
Bentuk konseling keluarga ini disesuaiakan dengan keperluannya. Namun banyak ahli yang
menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam konseling. Perubahan
pada system keluarga dapat dengan mudah diubah jika seluruh anggota keluarga
terlibat dalam konseling, karena mereka tidak hanya berbicara tentang
keluarganya, tetapi juga terlibat dalam penyusunan rencana perubahan dan
tindakannya.
F.
Peranan Konselor
1.
Konselor berperan sebagai facilitative
a comfortable, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan
tindakan-tindakannya sendiri
2.
Konselor menggunakan perlakuan melalui setting peran
interaksi
3.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keliarga
4.
Mempelajari klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk
bertanggung jawab dan melakukan self –
control
5.
Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan
komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota
keluarga
6.
Konselor menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota
keluarga
G.
Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada mulanya seorang klien dating ke konselor untuk
mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya dating pertama kali ini lebih bersifat
“identitas pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan diperlukan anggota
keluarganya.
Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan
oleh Crane yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi
anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan
behavioral, yang disebutkan terdpat empat tahap secara berturut – turut sebagai
berikut :
1.
Orang tua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku –
perilaku alternative. Hal ini dpat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas
membaca dan sesi pengajaran.
2.
Setelah orangtua membaca tentang prinsip dan atu telah
dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara
mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada anak,
sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan
tentang bagaimana hal itu dikerjakan. Secara tipikal, orangtua akan membutuhkan
contoh yang menunjukan bagaimana mengkontrofasikan anak-anak yang beroposisi.
Sangat pentng menunjukan kepada orangtua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepatdalam memperlakukan anaknya.
3.
Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan
prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi.
Terapis selama ini dapat memberikan koreksi apabila dibutuhkan.
4.
Setelah terapis ember contoh kepada orangtua cara
menangani sanak secara tepat. Setelah
mempelajari dalam situasi terapi, orangtua mencoba menerapkannya di rumah,
konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai.
Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orangtua dapat ditanyakan pada saat
ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat member contoh
lanjutan di rumah dan diobservasi orangtua, selanjutnya orangtua mencoba sampai
mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan
dengan masalah anaknya.
H.
Kesalahan Umum dalam Konseling Keluarga
Dalam konseling keluarga banyak dijumpai kesalahan-kesalahan
yang dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak efektif. Crane mengemukakan
sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya
sebagai berikut.
1.
Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga (termasuk kedua
orangtua) untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam terapi / konseling.
2.
Pertama kali orangtua dan anak dating ke konselor
bersama-sama, konselornya suatu saat berkata hanya orangtua dan anak tidak
perlu turut dalam proses, sehingga menampakan ketidak peduliannya terhadap apa
yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk bicara,
memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya secara cepat.
3.
Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah, atau menjelaskan
pandangannya kepada orangtua dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang
dihadapi dalam situasi kehidupan yang nyata.
4.
Melihat / mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan
orangtua, bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang
terjadi. Jadi penekanannya adalah mengubah system interaksi dengan jalan
mengubah perilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah
perilaku anak-anak mereka.
5.
Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang
terlalu otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua
perlu belajar cara memberikan dorongan dan afeksi kepada anak mereka, bukan
mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu mengajarkan cara member afeksi dan
penghargaan, serta mengajarkan anak dengan penuh afeksi pula.
Kesalahan – kesalahan dalam konseling keluarga semacam
diatas sepatutnya dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Konselor
tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus-menerus terhadap apa yang
dilakukan dan bagaimana hasil yang dicapai dari usahanya.
IV.
Konseling Pendidikan
Pendidikan merupakan institusi pembinaan anak didik
yang memiliki latar belakang sosial budaya dan psikologis yang beraneka ragam.
Dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan banyak anak didik yang menghadapi
masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Masalah
yang dihadapi sangat beraneka ragam, diantaranya masalah pribadi, sosial,
ekonomi, agama dan moral, belajar, dan vokasional.
Masalah-masalah tersebut seringkali menghambat
kelancaran proses belajar, meskipun masalah yang dihadapi tidak ada sangkut
pautnya dengan kegiatan akademik. Penyelenggaraa pendidikan, khususnya tenaga
pendidikan bertanggungjawab membina anak didiknya sehingga berhasil sebagaimana
yang diharapkan, termasuk mereka yang mengalami masalah.
Konseling pada latar pendidikan ini telah banyak dikenal di
Indonesia. Di Amerika, klinik konseling juga didirikan di sekolah dan
pusat-pusat pendidikan pada awal perkembangan konseling, misalnya di Pennsylvania
University pada 1896.
Konseling pendidikan terdiri atas dua macam bantuan
yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan dan bantuan remedial.
a. Perencanaan
pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada klien
untuk memilih tujuan pendidikan yang tepat dan memilih mecam lembaga pendidikan
yang paling tepat. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk membantu klien dalam
memilih lembaga pendidikan adalah bakat skolastik, kemampuan keuangan, minat
yang memadai, kebutuhan akan pendidikan umum, dan tujuan jabatan.
Selain itu, perencanaan pendidikan juga meliputi pembuatan
prediksi untuk memperoleh sukses dalam lembaga pendidikan yang akan dimasuki.
b. Bantuan Remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan banyak
menghadapi masalah instruksional. Dalam hal ini, konselor harus dapat
mendiagnosa masalah remediadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnosa atau
untuk membuat referal kepada spesialisremedial. Jadi ketrampilan yang harus
dimiliki konselor adalah dalam diagnosa dan remediasi (bantuan remedial).
Dalam melakukan diagnostik konselor harus menguasai
ketrampilan-ketrampilan dasar diagnostik dan penguasaan alat-alat yang
dipergunakan. Diagnostik masalah-masalah pendidikan harus dimulai dengan
pemeriksaan fisik, faktor-faktor motivasional, dan kemudian pemeriksaan
mengenai ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar yang menentukan hasil
belajar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konseling pranikah merupakan
konseling yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah,
sehubungan dengan rencana pernikahannya. Aspek yang perlu diasesment dalam
konseling pranikah adalah riwayat perkenalan, perbandingan latar belakang
pasangan, sikap keluarga keduanya, perencanaan terhadap pernikahan, factor
psikologis dan kepribadian, sikap prokreatif, kesehatan dan kondisi fisik.
Konseling pranikah diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan.
Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif,
yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai
konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan
ketegangan emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk
memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Secara umum, konseling keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan
dengan masalah keluarga, sementara konseling perkawinan lebih menekankan pada
masalah-masalah pasangan. Konseling keluarga pada
dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling
keluarga in secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan
dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Masalah – masalah dan
pendekatan yang ada dalam konseling keluarga adalah yang sesuai dengan
permasalahan klien, dan pendekatan yang ada dalam konseling keluarga sendiri.
Selain aplikasi lapangan kerja konseling keluarga, ada juga aplikasinya dalam
konseling pendidikan, yang mana konseling pendidikan
terdiri atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan
bantuan remedial
DAFTAR
PUSTAKA
Eukaristia.
(2011). Aplikasi Konseling dalam Berbagai Setting. http://animenekoi.blogspot.com/2011/06/aplikasi-konseling-dalam-berbagai.html
[diakses 14 Desember 2013]
Nurhadi, Siti. (2013). Aplikasi
Lapangan Kerja Konselor. http://sitinurhadii.blogspot.com/2013/06/aplikasi-lapangan-kerja-konselor.html
[diakses tanggal 14 Desember 2013]
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konseling adalah proses pemberian bantuan non material
yang dilakukan oleh seorang konselor kepada klien yang dilakukan dengan
wawancara konseling yang dilakukan secara sistematis, dinamis,
berkesinambungan, dan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, yang
bermuara pada pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh klien.
Konseling
merupakan sebuah kebutuhan yang diperlukan oleh semua masyarakat yang mencakup
semua kalangan yang menangani hal-hal yang menyangkut kehidupan manusia. Konseling
dapat diaplikasikan kedalam lapangan kerja, yakni konseling pranikah, konseling
perkawinan, konseling keluarga dan konseling pendidikan. untuk lebih
jelasnya, dibawah ini akan dipaparkan mengenai beberapa konseling dalam aplikasi
lapangan kerja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa sajakah aplikasi lapangan kerja konseling ?
2.
Bagaimana cara menangani masalah sesuai dengan aplikasi
lapangan kerja konseling itu sendiri ?
3.
Apa peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja konseling
itu ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa saja aplikasi lapangan kerja konseling
2.
Mengetahui cara menangani masalah klien sesuai dengan
aplikasi lapangan kerja konseling
3.
Mengetahui peranan konselor dalam aplikasi lapangan kerja
konseling
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Konseling Pranikah
A.
Pengertian Konseling Pranikah
Konseling
pranikah merupakan konseling yang deselenggarakan kepada pihak – pihak yang
belum menikah, sehubungan dengan rencana pernikahannya. Menurut Brammer dan
Shostrom, tujuan konseling pranikah adalah membantu patner pranikah untuk
mencapai emahaman yang lebih baik rentang drinyaa, masing – masing pasangan dan
tuntutan – tuntutan perkawinan. Konseling pranikah dianggap penting karena
banyak orang yang merasa salah dalam menetapkan pilihannya, atau mengalami
banyak kesulitan dalam penyesuaian diri dalam kehidupan berkeluarga. Banyak
orang yang terburu-buru membuat keputusan tanpa mempertimbangkan banyak aspek
sehubungan dengan kehidupan berumah tangga.
B.
Aspek yang Perlu Diasesmen
Aspek yang perlu dipahami
dan diasesmen konselor jika melakukan konseling pranikah :
1.
Riwayat Perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan
pranikah. Dimana mulai berkenalan, seberapa lama perkenalannya berlangsung,
bagaimana mereka saling mengetahui satu dengan lainnya, misalnya tentang pembicaraan
tentang nilai, tujuan, dan harapannya terhadap hubungan pernikahan, dan alas an
mereka berkeinginan melanjutkan perkenalannya kea rah pernikahan.
2.
Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Keberhasilan membangun keluarga seringkali dihubungkan
dengan latar belakang pasangan. Keseteraaan latar belakang lebih baik
penyesuaian pernikahannya disbanding dengan yang berasal dari latar belakang
yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar belakang pendidikan, budaya
keluarga setiap partner dan status social ekonominya sepenuhnya harus
dieksplorasi, dan perbedaan agama, serta adat istiadat keluarganya.
3.
Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana pernikahannya,
termasuk bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga terhadap keluarga nantinya,
apakah mereka menyetujui terhadap rencana pernikahannya, atau memberikan
dorongan, dan bahkan memaksakan agar menikah dengan orang yang disenangi.
4.
Perencanaan Terhadap Pernikahan
Perencanaan terhadap pernikahan meliputi rumah yang
akan ditempati, system keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang
dipersiapkan menjelang pernikahan.
5.
Faktor Psikologs dan Kepribadian
Factor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen
adalah sikap mereka terhadap peran seks dan bagaimana peran yang hendak
dijalankan di keluarganya nanti, bagaimana perasaan mereka terhadap dirinya,
dan usaha apa yang akan dilakukan untuk keperluan keluarganya nanti.
6.
Sifat Prokreatif
Menyangkut sikap mereka terhadap hubungan seksual dan
sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana pengasuhan terhadap anaknya
kelak.
7.
Kesehatan dan Kondisi Fisik
Hal lain yang sangat penting adalah perlunya diketahui
tentang kesesuaian usia untuk mengukur kematangan emosialnya secara usia
kronologis, kesehatan secara fisik dan mentalnya, dan factor-faktor genetic.
C.
Prosedur Konseling Pranikah
Konseling pranikah
diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan. Yang menjadi
penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif, yaitu
mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya.
II.
Konseling Perkawinan
A.
Pengertian
Konseling perkawinan
memiliki beberapa istilah, yaitu couples
counseling, marriage counseling, dan marital
counseling. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling
yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk memecahkan masalah
dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik. Dikatakan sebagai
metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada
pasangan suami isteri yang berkonsultasi tentang diri, pasangan dan masalah –
masalah dalam hubungan perkawinan serta cara – cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya.
B.
Perbandingan Konseling Perkawinan dan Keluarga
Secara umum konseling
keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah –
masalah keluarga, sementara konseling perkawinan lebih menekankan pasa masalah
– masalah pasangan ( suami isteri ).
Sekalipun konseling keluarga dan konseling perkawinan
memiliki penekanan tersendiri, kedua macam konseling tersebut memiliki prosedur
yang sama. Konseling perkawinan pada dasarnya adalah sebuah prosedur konseling
keluarga yang dikembangkan dari adanya konflik hubungan perkawinan dan menekankan
pada hubungan perkawinantanpa mengabaikan nilai konseling individu. Konseling
keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara jelas
tidak dapat terpecahkan tanpa adanya keterlibatkan bersama – sama anggota
keluarga yang bersangkutan.
C.
Permasalahan
Perkawinan
Beberapa masalah pasangan
yang sering kali menjadi masalah dalam suatu perkawinan, dan tentunya menjadi
perhatian konselor. Ada tiga masalah yang mungkin dihadapi dalam konseling
perkawinan.
1.
Adanya harapan dalam perkawinan yang tidak realistis. Harapan
yang berlebihan terhadap rencana pernikahan dan tidak dapat terwujud secara
nyata selama kehidupan berkeluarga, dapat menimbulkan suatu permasalahan, yaitu
kekecewaan pada salah satu atau keduanya.
2.
Kurang pengertian satu dengan lainnya. Jika salah satu atau
bahkan keduanya tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan
perkawinan. Pemahaman tidak hanya diberikan melalui pemahaman, tetapi juga
melalui tindakan afeksi dan tindakan nyata lainnya.
3.
Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara
langgeng. Sebagian orang memandang bahwa keluarga yang dibangunnya tidak lagi
dapat dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu membangun keluarga,
mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan adalah sangat sulit. Mereka ini
melihat mempertahankannya tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan
bagi dirinya.
Hal – hal yang juga sering menjadi masalah dalam
perkawinan adalah kurangnya kesetiaan salah satu atau kedua belah pihak,
memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua belah pihak, dan
perspisahan diantara pasangan. Problem-problem perkawinan ini dapat dipecahkan
melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan) berkeinginan untuk
menyelesaikannya.
D.
Tujuan Konseling Perkawinan
Dalam konseling perkawinan,
konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang dihadapi, dan
mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Secara lebih rinci tujuan
jangka panjang konseling perkawinan adalah sebagai berikut.
1.
Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling
empati di antara patner.
2.
Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing
– masing.
3.
Meningkatkan sikap untuk saling membuka diri.
4.
Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5.
Mengembangkan keterampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan
mengelola konfliknya.
E.
Asumsi – Asumsi Konseling Perkawinan
1.
Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan,
bukan pada kepribadian masing – masing patner. Konselor tidak menekankan untuk
mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang dating. Dia akan
menekankan bagaimana hubungan yang terjadi selama ini diantara pasangan
tersebut.
2.
Masalah yang dihadapi kedua nelah pihak adalah mendesak,
sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung untuk
memecahkan masalah.
3.
Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah – masalah
normal, buka kasus yang sangat ekstrem yang bersifat patologis. Maslah normal
adalah masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja
keduannya mengalami kesulitan dalam mengatasi konflik-konfliknya.
F.
Tipe – Tipe Konseling Perkawinan
1.
Concurrent Martial
Counseling
Konselor melakukan konseling
secara terpisah pada setiap patner. Metode ini digunakan ketika salah seorang
partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan sendiri, selain juga
mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2.
Collaborative Marital
Counseling
Setiap patner secara
individual menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika
seorang partner lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinanya,
sementara konselor yang lain menyelesaikan masalah-masalah lain yang juga
menjadi perhatian kliennya.
3.
Conjoint Marital Counseling
Suami isteri bersama – sama
datang ke seorang atau beberapa konselor. Pendekatan ini digunakan ketika kedua
partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan
modifikasi hubungan.
4.
Couples Marital Counseling
Beberapa pasangan datang ke
seorang atau ke beberapa konselor. Cara ini dapat mengurangi kedalaman situasi
emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku
yang lebih rasional dalam kelompok.
G.
Peranan Konselor
1.
Menciptakan hubungan dengan klien.
2.
Memberikan kesempatan kepada klien untuk membuka
perasaan perasaan secara leluasa di
hadapan pasangannya.
3.
Memberikan dorongan dan menunjukan penerimaannya kepada
klien.
4.
Melakukan diagnosis terhadap kesulitan – kesulitan klien.
5.
Membantu klien untuk menguji kekuatan – kekuatannya, dan
mencari kemungkinan aternatif dalam menentukan tindakannya.
H.
Langkah – Langkah Konseling
1.
Tahap persiapan, yaitu tahap dimana klien menghubungi
konselor.
2.
Tahap keterlibatan, yaitu tahap keterlibatan bersama klien.
3.
Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang
dihadapi oleh pasangan.
4.
Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi
untuk penyelesaian masalah.
5.
Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan
hipotesis dan memformulasikan langkah – langkah pemecahan.
6.
Tahap penentuan tujuan, yaitu taha yang dicapai klien telah
mencapai perilaku yang normal, telah mencapai cara berkomunikasi, telah
menaikan self esteem dan membuat
keluarga lebih kohesif.
7.
Tahap akhir dan penutup, yaitu merupakan kegiatan mengakhiri
hubungan konseling setelah tujuannya tercapai.
I.
Kesulitan dan Keuntungan Konseling Perkawinan
Konseling perkaawinan
tidaklah mudah, karena orang yang ditanganibermasalah, dan masalahnya
menyangkut hubungan satu dengan lainnya. Konselor harus memberikan perhatian
yang sama kepada keduanya. Konselor tidak dibenarkan membela atau
mengesampingkan salah satu diantara pasangan yang berkonsultasi. Konselor
membutuhkan kemampuan khusus untuk menangani pasangan. Dibandingkan dengan
konseling individual, konseling perkawinan membutuhkan kemampuan dalam member
perhatian, mrngatur pembicaraan, kemmapuan konfrontasi, dan keterampilan
konseling lain.
Namun demikian, konseling
perkawinan juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan konseling
individu, yaitu :
1.
Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi
karena pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
2.
Dapat dengan mudah mengetahui konflik – konflik di antara
asangan dan tranferensi yang terjadi pada pasangan.
3.
Terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahan sampai
kehidupan yang terakhir.
III.
Konseling Keluarga
A.
Pengertian Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan
konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga in secara khusus
memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan
penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Konseling keluarga memandang
keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak
mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun
penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami oleh seorang anggota
keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada
mulanya konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar
beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan
lingkungan keluarganya. Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki
permasalahan pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi
adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap
survive di dalam system keluarganya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Golden dan Sherwood,
yang menjelaskan bahwa konseling atau terapi keluarga merupakan metode yang
difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan problem perilaku
anak. Dasar diselenggarakan konseling keluarga karena keluarga memiliki
kekuatan untuk mendorong atau mengambat usaha yang baik dari konselor atau guru
yang berusaha membantu guru meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kliennya.
Menurut Crane, salah seorang konselor behavioral, konseling
keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orangtua dalam hal metode
mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua dalam hal metode
mengendalikan perilaku yang positif dan
membantu orang tua dalam perilaku yang dikehendaki. Dalam pengertian ini,
konseling keluarga tidak bermaksud untuk mengubah kepribadian, sifat, dan
karakter orang-orang yang terlibat, tetapi lebih mengusahakan perubahan dalam
system keluarga melalui pengubahan perilaku, utamanya orang tua. Dalam
konseling keluarga yang menjadi unit terapi adalah keluarga sehubungan dengan
masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga tersebut. Hal tersebut berbeda
dengan konseling individual karena yang menjadi unit terapi adalah individu
sekalipun masalah yang dihadapi dan yang dipecahkan adalah berhubungan dengan keluarganya.
B.
Masalah – masalah Keluarga
Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah
dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan
orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orangtua dan seringkali
tidak diketahui oleh orang tua. Permasalahan yang diketahui orangtua jika
fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu. Orangtua akan
menghantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang
mengahdapi masalah atau sedang mengalami gangguan yang berat. Karena itu
konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan
anak yang mengalami gangguan.
Hal kedua berhubungan dengan keadaan orangtua. Banyak
dijumpai orangtua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya,
menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang
berkesinambungan dan penuh konflik, atau member perlakuan secara salah kepada
anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai
masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yang
lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Perkembangan konseling keluarga tidak hanya menagani dua hal
tersebut, permasalahan yang ketiga karena mengalami kondisi yang kurang harmoni
di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru
dalam mengatur keluarganya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka.
Berdasarkan pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang
dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain : keluarga dengan anak
yang tidak patuh terhadapan harapan orang tua, konflik antar anggota keluarga,
perpisahan di antara anggota keluarga karena kerja di luar daerah, dan anak
yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan – permasalahan keluarga tersebut dapat
diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif
untuk mengatasi masalah – masalah tersebut jika semua anggota keluarga bersedia
untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan cara – cara baru untuk
membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah. Namun demikian, konseling
keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu
dipertibangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan yang
dimaksud diantaranya :
1.
Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses
konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dalam usaha ini, atau
karena ember kesibukan, dan sebagainya.
2.
Ada anggota keluarga yang merasa kesulitan untuk menyampaikan
perasaan dan sikapnya secara terbuka di hadapan anggota keluarga lain, padahal
konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling kepercayaan satu dengan yang
lainya.
C.
Pendekatan Konseling Keluarga
Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan
bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, ada tiga pendekatan
konseling keluarga yaitu :
1.
Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan system.
Menurutnya keluarga bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi. Keadaan ini
terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan
harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bawen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat
membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat
anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota
keluarga tidak dapat menghindari system keluarga yang emosional yaitu yang
mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan. Jika hendak menghindar dari
keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari system
keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan berdasarkan
rasioanalitasnya bukan emosionalnya.
2.
Pendekatan
Sedangkan menurut Satir masalah yang dihadapi oleh anggota
keluarga berhubungan dengan self-esteem dan
komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan
komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan
komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi
bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang
dikomunikasikan anggota keluarga lain.
3.
Pendekatan Struktural
Minuchin beranggapan bahwa masakah keluarga sering terjadi
karena struktur keluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak tepat.
Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara sub
system dari system keluarga itu tidak jelas. Mengubah struktur dalam keluarga
berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan
seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga yang
bermasalah perlu dirumuskan kembali struktur keluarga itu dengan memperbaiki
transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
D.
Tujaun Konseling Keluarga
Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga adalah
membantu klien (anggota keluarga) untuk mencapai individualitas, menjadi
dirinya sebagai hal yang berbeda dari system keluarga. Tujuan demikian ini
relevan dengan pandangannya tentang masalah keluarga yang berkaitan dengan
kehilangan kebebasan anggota keluarga akibat dari peraturan dan kekuasaan
keluarga.
Satir menekankan pada tujuan mereduksi sikap defensive di
dalam dan antar anggota keluarga. Pada saat yang sama konseling diharapkan
dapat mempermudah komunkasi yang efektif dalam kontak hubungan antar nggota
keluarga. Oleh karena itu, anggota keluarag perlu membuka inner experience (pengalaman dalamnya) dengan tidak membekukan interaksi
antar anggota keluarga.
Sedangkan Minuchin mengemukakan bahwa tujuan konseling
keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga, dengan cara menyusun kembali
kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antara dan sekitar anggota keluarga.
Diharapkan keluarga dapat menantang persepsi untuk melihat realitas,
mempertimbangkan alternative sedapat mungkin dan pola transaksional. Anggota
keluarga dapat mengembangkan pola hubungan baru dana struktur yang mendapatkan self-reinforcing.
Glick dan Kessler mengemukakan tujuan umum konseling
keluarga adalah untuk (1) memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar
anggota keluarga, (2) mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi,
(3) member pelayanan sebagai model dan pendidik peran tertentu yang ditunjukan
kepada anggota lainnya.
E.
Bentuk Konseling Keluarga
Dalam akitannya dengan bentuknya, konseling keluarga
dikembangkan dalam berbagai bentuk sebagai pengembangan dari konseling
kelompok. Bentuk konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan anak
sebagai bentuk konvensioanlnya. Saat ini juga dikembangkan dalam bentuk lain,
misalnya ayah dan anak perempuan, ibu dan anak laki-laki, dan sebagainya.
Bentuk konseling keluarga ini disesuaiakan dengan keperluannya. Namun banyak ahli yang
menganjurkan agar anggota keluarga dapat ikut serta dalam konseling. Perubahan
pada system keluarga dapat dengan mudah diubah jika seluruh anggota keluarga
terlibat dalam konseling, karena mereka tidak hanya berbicara tentang
keluarganya, tetapi juga terlibat dalam penyusunan rencana perubahan dan
tindakannya.
F.
Peranan Konselor
1.
Konselor berperan sebagai facilitative
a comfortable, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan
tindakan-tindakannya sendiri
2.
Konselor menggunakan perlakuan melalui setting peran
interaksi
3.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keliarga
4.
Mempelajari klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk
bertanggung jawab dan melakukan self –
control
5.
Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan
komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota
keluarga
6.
Konselor menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota
keluarga
G.
Proses dan Tahapan Konseling Keluarga
Pada mulanya seorang klien dating ke konselor untuk
mengkonsultasikan masalahnya. Biasanya dating pertama kali ini lebih bersifat
“identitas pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan diperlukan anggota
keluarganya.
Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan
oleh Crane yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi
anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan
behavioral, yang disebutkan terdpat empat tahap secara berturut – turut sebagai
berikut :
1.
Orang tua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku –
perilaku alternative. Hal ini dpat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas
membaca dan sesi pengajaran.
2.
Setelah orangtua membaca tentang prinsip dan atu telah
dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara
mengimplementasikan ide tersebut. Pertama kali mengajarkan kepada anak,
sedangkan orangtua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan
tentang bagaimana hal itu dikerjakan. Secara tipikal, orangtua akan membutuhkan
contoh yang menunjukan bagaimana mengkontrofasikan anak-anak yang beroposisi.
Sangat pentng menunjukan kepada orangtua yang kesulitan dalam memahami dan
menerapkan cara yang tepatdalam memperlakukan anaknya.
3.
Selanjutnya orangtua mencoba mengimplementasikan
prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi.
Terapis selama ini dapat memberikan koreksi apabila dibutuhkan.
4.
Setelah terapis ember contoh kepada orangtua cara
menangani sanak secara tepat. Setelah
mempelajari dalam situasi terapi, orangtua mencoba menerapkannya di rumah,
konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai.
Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orangtua dapat ditanyakan pada saat
ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat member contoh
lanjutan di rumah dan diobservasi orangtua, selanjutnya orangtua mencoba sampai
mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan
dengan masalah anaknya.
H.
Kesalahan Umum dalam Konseling Keluarga
Dalam konseling keluarga banyak dijumpai kesalahan-kesalahan
yang dilakukan konselor, sehingga hasilnya tidak efektif. Crane mengemukakan
sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya
sebagai berikut.
1.
Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga (termasuk kedua
orangtua) untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi. Yang baik jika
seluruh anggota keluarga terlibat dalam terapi / konseling.
2.
Pertama kali orangtua dan anak dating ke konselor
bersama-sama, konselornya suatu saat berkata hanya orangtua dan anak tidak
perlu turut dalam proses, sehingga menampakan ketidak peduliannya terhadap apa
yang menjadi perhatian anak. Cara yang baik adalah mengajak anak untuk bicara,
memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya secara cepat.
3.
Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah, atau menjelaskan
pandangannya kepada orangtua dan bukan menunjukan cara penanganan masalah yang
dihadapi dalam situasi kehidupan yang nyata.
4.
Melihat / mendiagnosis untuk menjelaskan perilaku anak dan
orangtua, bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah-masalah yang
terjadi. Jadi penekanannya adalah mengubah system interaksi dengan jalan
mengubah perilaku orangtua dan mengajarkan mereka bagaimana cara mengubah
perilaku anak-anak mereka.
5.
Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang
terlalu otoritarian atau terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. Orangtua
perlu belajar cara memberikan dorongan dan afeksi kepada anak mereka, bukan
mengendalikan perilaku anak. Konselor perlu mengajarkan cara member afeksi dan
penghargaan, serta mengajarkan anak dengan penuh afeksi pula.
Kesalahan – kesalahan dalam konseling keluarga semacam
diatas sepatutnya dihindari untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Konselor
tentunya diharapkan melakukan evaluasi secara terus-menerus terhadap apa yang
dilakukan dan bagaimana hasil yang dicapai dari usahanya.
IV.
Konseling Pendidikan
Pendidikan merupakan institusi pembinaan anak didik
yang memiliki latar belakang sosial budaya dan psikologis yang beraneka ragam.
Dalam mencapai maksud dan tujuan pendidikan banyak anak didik yang menghadapi
masalah dan sekaligus mengganggu tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Masalah
yang dihadapi sangat beraneka ragam, diantaranya masalah pribadi, sosial,
ekonomi, agama dan moral, belajar, dan vokasional.
Masalah-masalah tersebut seringkali menghambat
kelancaran proses belajar, meskipun masalah yang dihadapi tidak ada sangkut
pautnya dengan kegiatan akademik. Penyelenggaraa pendidikan, khususnya tenaga
pendidikan bertanggungjawab membina anak didiknya sehingga berhasil sebagaimana
yang diharapkan, termasuk mereka yang mengalami masalah.
Konseling pada latar pendidikan ini telah banyak dikenal di
Indonesia. Di Amerika, klinik konseling juga didirikan di sekolah dan
pusat-pusat pendidikan pada awal perkembangan konseling, misalnya di Pennsylvania
University pada 1896.
Konseling pendidikan terdiri atas dua macam bantuan
yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan dan bantuan remedial.
a. Perencanaan
pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada klien
untuk memilih tujuan pendidikan yang tepat dan memilih mecam lembaga pendidikan
yang paling tepat. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk membantu klien dalam
memilih lembaga pendidikan adalah bakat skolastik, kemampuan keuangan, minat
yang memadai, kebutuhan akan pendidikan umum, dan tujuan jabatan.
Selain itu, perencanaan pendidikan juga meliputi pembuatan
prediksi untuk memperoleh sukses dalam lembaga pendidikan yang akan dimasuki.
b. Bantuan Remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan banyak
menghadapi masalah instruksional. Dalam hal ini, konselor harus dapat
mendiagnosa masalah remediadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnosa atau
untuk membuat referal kepada spesialisremedial. Jadi ketrampilan yang harus
dimiliki konselor adalah dalam diagnosa dan remediasi (bantuan remedial).
Dalam melakukan diagnostik konselor harus menguasai
ketrampilan-ketrampilan dasar diagnostik dan penguasaan alat-alat yang
dipergunakan. Diagnostik masalah-masalah pendidikan harus dimulai dengan
pemeriksaan fisik, faktor-faktor motivasional, dan kemudian pemeriksaan
mengenai ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar yang menentukan hasil
belajar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konseling pranikah merupakan
konseling yang diselenggarakan kepada pihak-pihak yang belum menikah,
sehubungan dengan rencana pernikahannya. Aspek yang perlu diasesment dalam
konseling pranikah adalah riwayat perkenalan, perbandingan latar belakang
pasangan, sikap keluarga keduanya, perencanaan terhadap pernikahan, factor
psikologis dan kepribadian, sikap prokreatif, kesehatan dan kondisi fisik.
Konseling pranikah diselenggarakan prosedur sebagaimana konseling perkawinan.
Yang menjadi penekanan pada konseling pranikah ini lebih bersifat antisipatif,
yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan
rencana pernikahannya. Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai
konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan
ketegangan emosional, metode embantu patner – patner yang menikah untuk
memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Secara umum, konseling keluarga itu dibatasi sebagai konseling yang berhubungan
dengan masalah keluarga, sementara konseling perkawinan lebih menekankan pada
masalah-masalah pasangan. Konseling keluarga pada
dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling
keluarga in secara khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan
dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Masalah – masalah dan
pendekatan yang ada dalam konseling keluarga adalah yang sesuai dengan
permasalahan klien, dan pendekatan yang ada dalam konseling keluarga sendiri.
Selain aplikasi lapangan kerja konseling keluarga, ada juga aplikasinya dalam
konseling pendidikan, yang mana konseling pendidikan
terdiri atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan
bantuan remedial
DAFTAR
PUSTAKA
Eukaristia.
(2011). Aplikasi Konseling dalam Berbagai Setting. http://animenekoi.blogspot.com/2011/06/aplikasi-konseling-dalam-berbagai.html
[diakses 14 Desember 2013]
Nurhadi, Siti. (2013). Aplikasi
Lapangan Kerja Konselor. http://sitinurhadii.blogspot.com/2013/06/aplikasi-lapangan-kerja-konselor.html
[diakses tanggal 14 Desember 2013]
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar dengan Menggunakan Bahasa yang Sopan ya guys
Terimakasih :D